Balikpapan
– Sulistijono tak bisa bisa dilepaskan dari sejarah Institut Teknologi
Kalimantan (ITK) di Balikpapan. Profesor Metalurgi ini adalah inisiator
sekaligus ketua Tim Pendirian ITK. Kini dia menjadi rektor perguruan tinggi
yang berdiri 6 Oktober 2014 lalu. Berikut ceritanya.
Kesan
pertama saat Kaltim Post bertemu
Sulistijono adalah ramah dan murah senyum. Tak ketinggalan, dia juga selalu
bersemangat. Khususnya saat berbagi cerita seputar dunia pendidikan. Tentang
bidang metalurgi yang digeluti. Juga soal akan seperti apa ITK, “anak kemarin
sore” di dunia perkampusan Benua Etam, di bawah kepemimpinannya.
Metalurgi
jadi pembahasan awal pria yang saat itu mengenakan kemeja batik biru cerah.
Perkenalannya dengan dunia ini ketika dia mengenyam pendidikan S-1, Jurusan
Teknik Mesin, Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya.
Dari
situ, dia semakin tenggelam dalam bidang ini. Tambah jauh, Sulis – sapaan akrabnya
– semakin kagum. Metalurgi juga yang memberinya banyak inspirasi.
“Menurut
saya menarik. Ternyata material seperti baja dan logam yang kita bayangkan
adalah benda mati, dalam dunia metalurgi semua itu bisa berubah,” ujarnya saat
bincang di ruang kerjanya, Kampus ITK, Karang Joang, Balikpapan.
Aneka
material, kata dia, dapat dikreasikan. Sifatnya pun mudah berubah. Misalnya
memodifikasi bahan material menjadi baju atau rompi anti peluru. Dari material
juga bisa membuat mata palsu. Tentu dengan rumus dan perpaduan bahan yang
tepat. Hal-hal seperti ini yang membuat Sulis jatuh cinta. Makanya, lepas S-1,
tak pikir panjang, dia mengambil jenjang S-2 dan S-3 di bidang yang sama. Sulis
berhasil meraih gelar S-2 pada 1989. Dia langsung lanjut ke jenjang S-3 dan
lulus pada 1992. Dua jenjang pendidikan itu dituntaskannya di Université de Technologie de Compiègne (DEA), France.
Selama
menggeluti bidang ini, salah satu pengalaman tak terlupakannya adalah ketika
melakukan uji coba material dengan daya tahan temperatur tinggi. Ia harus
mengetes materi hingga suhu di atas 1.200 derajat celcius. Jelas beresiko.
Superpanas. “Saya harus menunggu dan mengawasi dengan seksama uji coba waktu
itu. Tidak boleh tidur. Padahal untuk mengujinya butuh waktu hingga 150 jam
atau empat hari. Bagaimana bisa saya tidak tidur selama itu, sangat melelahkan,”
ungkapnya.
Akhirnya,
ayah tiga anak itu membuat sebuah rekaman video dokumentasi melalui kamera agar
risetnya dapat terus terlihat. Bahkan ketika ia sedang tertidur. Namun,
meskipun sudah dibantu kamera, hal yang ditakutkan oleh Sulis terjadi juga.
“Bayangkan
sebuah material dengan temperatur setinggi itu, sudah tidak terbayang bagaimana
warna dan suhunya. Kemudian benda itu jatuh ke lantai, saya yang sedang
tertidur langsung kaget dan terbangun,” ujarnya.
Setelah
menyelesaikan studi di Perancis, Sulis memutuskan untuk kembali ke Indonesia.
Dia menjadi dosen jurusan Teknik Mesin di almamaternya, ITS. “Prinsip saya
ketika menekuni satu bidang, saya harus total dan tidak boleh setengah-setengah,” tuturnya. Mantan Dekan
Fakultas Teknologi Industri ITS tersebut menuturkan, rasa nyamannya terhadap
dunia pendidikan. Ini yang membuatnya yakin untuk memilih terjun dan berkarir
sebagai dosen.
“Bagi
saya, tidak ada yang lebih nyaman selain pendidikan. Saya merasa dunia
pendidikan itu dapat memberi kebebasan untuk orang berkreasi dan berinovasi,”
ungkap suami Lilik Muslimatin itu. Ketekunan dan kecintaan jugalah yang membuat
karir di bidang ini terus menanjak. Pada 2011, ketika Presiden RI membuat
perencanaan ITK, Sulis diminta untuk berperan menjadi inisiatornya. Tak
berhenti sampai situ. Pria kelahiran Madiun itu juga resmi ditunjuk sebagai Rektor
ITK sejak 2014.
Meskipun
tidak pernah terbayangkan dapat mengemban tugas sebagai rektor, Sulis berusaha
agar dapat menjalankan perannya semaksimal mungkin. “Karena semua itu amanah.
Menurut saya, ini salah satu peluang untuk berkontribusi bagi negara di bidang
pendidikan,” sebutnya.
Saat
ini, Sulis mencoba membuat terobosan dan inovasi dalam mengembangkan ITK.
Contohnya dari proses seleksi dosen yang ketat. Dosen harus berkualitas dan
tidak sembarangan. “Tidak mungkin kami memilih dosen dari perguruan tinggi yang
tidak jelas asal-usulnya. Dosen yang kami terima semua berasal dari
kampus-kampus terbaik,” ungkapnya.
Pada
awal-awal berdiri, ITK ada lima program studi, yakni Teknik Mesin, Teknik
Elektro, Teknik Kimia, Teknik Sipil, dan Teknik Perkapalan yang dibuka pada
2012. Setahun kemudian, atau 2013, dibuka lima program studi lainnya, yaitu
program Teknik Material dan Metalurgi, Fisika, Matematika, Sistem Informasi,
serta Perencanaan Wilayah.
Kini,
ITK sudah memiliki 134 dosen. Mahasiswanya sekitar 700 orang. Animo masyarakat
terhadap keberadaan ITK sangat tinggi. “Terbukti sejak lahirnya perguruan tinggi
ini, setiap orang harus bersaing dengan tujuh orang lainnya agar dapat diterima
sebagai mahasiswa,” ujarnya. Yang tak ketinggalan, kata dia, ITK juga terus
berinovasi.
Salah
satunya dalam pemilihan tema riset. Riset yang digeluti harus berguna bagi
masyarakat sekitar terlebih dulu. Menurutnya, saat ini masih banyak riset yang
hanya berujung pada jurnal internasional. Namun tidak memberikan manfaat kepada
negara secara langsung. Sehingga hal itu seharusnya menjadi perhatian semua
rektor di Indonesia. “Jika ada dana riset, 60-70 persen harus meneliti yang
bermanfaat bagi warga sekitar dan negara. Sisanya adalah penelitian yang
menjadi jurnal internasional. ITK sedang diarahkan seperti itu,” tuturnya.
Misalnya
ketika masyarakat yang berada di lingkungan ITK kesulitan mendapatkan air. ITK
mencoba memberikan bantuan dengan melakukan pengeboran sumur. Sehingga air
sumur tersebut dapat dialirkan ke rumah-rumah warga yang membutuhkan.
“Beberapa
rumah di kawasan Karang Joang (sekitar kampus) mendapat bantuan air itu. Jadi
sebisa mungkin banyak dana dilarikan untuk kepentingan masyarakat juga. Tidak
egois hanya membesarkan perguruan tinggi sendiri,” jelasnya.
Harapannya,
keberadaan ITK dapat memberikan manfaat dan warga dapat menikmatinya. Sulis
menuturkan, banyak pemikiran atau ide yang justru datang dari lingkungan
sekitar. Pria 53 tahun ini merasa terdorong untuk menciptakan berbagai inovasi
untuk lingkungannya.
“Sosok
inspirasi bagi saya pun bukan seorang tokoh besar. Namun, orang-orang di
sekitar lingkungan saya yang dapat menjadi panutan. Misalnya dosen-dosen saya
saat dulu masih kuliah,” ceritanya.
Tidak
ada target besar dalam hidupnya, namun Sulis mengatakan selalu menciptakan
target-target kecil yang harus berjalan terus-menerus. “Prinsip hidup saya
adalah dapat menjadi seorang yang baik dan bermanfaat bagi orang lain. Jalankan
setiap amanah dengan sungguh-sungguh dan sesuai porsinya,” jelasnya.
Dalam
menjalankan perannya saat ini, dukungan keluarga dan lingkungan menjadi bagian
penting. “Keluarga saat ini berdomisili di Surabaya, namun jika ada waktu
luang, mereka menyempatkan diri berkunjung ke Balikpapan,” sebutnya.
Sulistijono dikaruniai tiga anak. Anak sulungnya bernama Primaditya sedang
menempuh pendidikan master Teknik Elektro di INSA Lyon, Perancis. Anak kedua,
Elvin Nuzulistina, mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga,
Surabaya. Sedangkan si bungsu, Andhika, masih duduk di bangku SMP 1 Surabaya. (far/k15).
Sumber: Kaltim Post e-paper
edisi Selasa, 26 Januari 2016, hal. 1 (represented by
Humas ITK).