Balikpapan
– Pada Senin, 18 Februari 2016 ada pemandangan yang tidak biasa di lingkungan
Kampus ITK Karang Joang, Balikpapan. Pagi itu, sehelai kain hitam mengalung
rapi menutupi kepala Asnah, 33 tahun, kecuali bagian wajahnya. Pakaiannya pun
terlihat lihat tertutup dari biasanya. Ia tampak anggun.
“Saya menjadi lebih tenang dan percaya diri dalam bekerja,” ungkap kepada
Humas-ITK. Asnah adalah tenaga sekuriti wanita yang sudah dua bulan bekerja di
ITK.
Asnah
tidak sendiri. Dua pekan sebelumnya, seorang rekan kerja Asnah, Sania
Setyaningsih, 24 tahun, telah lebih dulu mengenakan jilbab. Sania menuturkan, ia
melakukan itu karena ingin menjalankan menjalankan syariat Islam yang
dianutnya. “Awalnya terasa gerah dan panas, tapi semakin lama menjadi
terbiasa,” kata wanita asli Karang Joang, Balikpapan tersebut.
Asnah
dan Sonia mengungkapkan, keinginan mereka untuk berjilbab sebenarnya sudah
sejak lama. “Ketika di luar lingkungan kampus, saya bahkan sudah mengenakannya
sejak sekolah menengah,” ujar Sonia. Namun perusahaan sekuriti asal Majalengka
yang mempekerjakan mereka, PT. Yurika Mandiri Abadi, belum mengijinkan.
Kini,
seiring meningkatnya karyawan wanita sebagai tenaga sekuriti, yang menuntut
agar diijinkan berjilbab, perusahaan pun mengijinkan. Sebelumnya, pada Maret
2015, Kapolri Jenderal Sutarman mengeluarkan aturan yang membolehkan polisi
wanita (Polwan) untuk berhijab.
Tak
hanya staf, ada juga dua dosen ITK, Rossana Margaret Kadar Yanti (dosen Program
Studi Teknik Sipil), dan Ariyaningsih (dosen Program
Studi Perencanaan Wilayah dan Tata Kota) juga memakai jilbab berturut-turut pada September
dan Oktober 2015.
Ariyaningsih
menuturkan alasannya berhijab. Tepat pada ulang tahunnya ke-26, Senin, 19
Oktober 2015 ia memutuskan untuk berjilbab hingga akhir hayatnya. Dosen lulusan ITS ini mengaku, dorongan untuk berhijab
berasal dari orang tuanya ketika dia masih berkuliah sarjana. “Di ITK, ada kajian Islam untuk
muslimah setiap Jumat, mungkin aku kena ridho Allah dari situ,” ujarnya santai.
Ketika
ditanyakan mengenai keputusan untuk berjilbabnya ini bisa menular ke dosen
lain, wanita asal Lamongan, Jawa Timur mengatakan, mengenakan hijab adalah
sebuah keputusan yang tidak bisa dipaksakan, tergantung kesadaran individunya. “Saya
pribadi sih kalau melihat teman-teman yang tidak berjilbab tapi pakaiannya
masih sopan ya gak papa. Kecuali kalau dia berjilbab terus mencopot jilbabnya lagi. Saya jujur agak risih, kayak orang yang
gak konsisten.”
Mahasiswi
pun tak mau kalah. Wihelwina Annisa Putri, mahasiswi berprestasi dari Program
Studi Perencanaan Wilayah dan Tata Kota angkatan 2012 ini, mengenakan jilbab
pada Februari 2016. Dorongan untuk menutup aurat muncul atas kesadarannya
sendiri menjalankan kewajiban agama.
“Saya
semakin sadar dan yakin bahwa saya harus memperbaiki diri, salah satunya dengan
berhijab.”
Menurutnya,
keputusannya ini adalah buah dari proses yang tidak sebentar. “Terlebih saya
yang masih muda dengan pola pikir yang masih labil, tentunya akan sulit menyadari
pentingnya menjaga aurat,” katanya. Dara asli Samarinda mengatakan bahwa
hijabnya sekarang “masih dalam proses belajar agar menjadi hijab yang sempurna.”
Fenomena
jilbab-jilbab baru yang mewarnai ITK ini ditanggapi positif oleh Wakil Rektor
Bidang Akademik dan Kemahasiswaan ITK, Subchan. Menurutnya, sebagai kampus
negeri, dia kerap menekankan agar civitas akademika ITK selalu berperilaku
sopan, menjaga ketentraman agar ITK menjadi lingkungan yang kondusif, mendukung
kegiatan akademik. “Saya sangat mendukung dengan bertambahnya dosen, karyawan,
dan mahasiswi yang berjilbab. Kalau bisa semangat ini menular ke yang lain,” ujarnya.
Koordinator
Tim Pembina Kerohanian Islam (TPKI) ITK, Sangidun mengaku senang karena bertambahnya
muslimah di lingkungan ITK yang sudah sadar akan kewajiban sebagai kaum hawa
untuk menutup aurat. “ITK memang bukan kampus Islam. Tapi anjuran berhijab
sebagai bagian dari perintah Islam akan memberi dampak yang positif bagi Kampus
ITK dan civitasnya.” (humas ITK).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar