Sabtu, 11 Juni 2016

Sharing & Discussion: A Moment with Ricky Elson


(Ahad Pagi Bersama Sang Maestro)

Balikpapan – Ahad pagi, 29 Mei 2016, ada sesuatu yang berbeda di Kampus Institut Teknologi Kalimantan (ITK) Karang Joang. Kampus yang lazimnya sepi karena hari libur, mendadak ramai gempita oleh puluhan dosen dan mahasiswa. Hujan ringan yang mengguyur Karang Joang sejak subuh, tak menyurutkan langkah mereka. Gayuh dan gegas kaki-kaki itu menuju lantai tiga, Auditorium ITK. Hari yang istimewa.

Ya, hari itu memang akhir pekan yang istimewa karena Kampus ITK kedatangan tamu yang luar biasa. Seorang ilmuwan-pejuang-cendekiawan-teknokrat-nasionalis-aktivis-sastrawan-pemuda hebat. Dialah Ricky Elson.

Mengenakan hem putih lengan panjang yang digulung hingga siku, celana jeans hitam, sepatu boot cokelat, rambut ikal hitam yang diikat rapi, santai, Bang Ricky-begitu ia akrab disapa-memulai presentasi. “Apa kabar ITK?” kata Bang Ricky hangat menyapa.

Ricky Elson bukanlah pria sembarangan. Pemuda kelahir di Padang, 11 Juni, 36 tahun silam itu adalah salah seorang putra terbaik bangsa yang mengharumkan Indonesia di kancah internasional. Sedikitnya 14 penemuan di bidang teknologi penggerak motor listrik yang sudah ia patenkan di Jepang.

Dialah yang memelopori kelahiran mobil listrik nasional ‘Tucuxi’ yang ia buat bersama Danet Suryatama yang diluncurkan pada 2014. Sebelumnya, pada pertengahan 2013, Ricky dan timnya berhasil menyelesaikan purwarupa mobil listrik, ‘Selo’ dan ‘Gendhis’ yang dipamerkan dalam KTT APEC, Oktober 2013 silam di Denpasar, Bali.

Sang “Putra Petir” itu menyempatkan diri ke Kampus ITK seusai merampungkan agendanya di Bontang. Dalam acara Sharing & Discussion rutin tersebut, Ricky membagi kisahnya selama di Jepang, tentang mobil listrik maupun teknologi kincir angin yang ia kembangkan.

Memotivasi peserta untuk selalu berjuang mewujudkan mimpi besarnya hingga bisa menciptakan karya-karya yang bermanfaat bagi orang banyak. “Semoga kelak ITK mampu menjadi ujung tombak pembangunan di negeri ini, khususnya di Kalimantan,” ujarnya.

Peserta pun memperhatikan dengan antusias.

1464533501476

“Forum diskusi dengan Bang Ricky selalu berkesan. Beliau memotivasi agar kita selalu memaknai hidup dengan semangat juang tinggi. Saya suka dengan motto hidupnya, bahwa hidup itu susah, maka jadilah besar!” ungkap Happy Aprillia, dosen Teknik Elektro ITK.

Ada juga perwakilan dari mahasiswa. Rijal Surya, salah seorang mahasiswa yang hadir turut memberikan apresiasi pada acara tersebut.

“Benar-benar bermanfaat, mengajarkan dan memotivasi kami untuk terus berkarya dalam keadaan apapun. Bang Ricky sangat berharap mahasiswa ITK bisa mengambil peran yang lebih besar dalam kemajuan bangsa namun tetap menjaga semangat nasionalisme.” tutur Rijal yang saat ini menjabat sebagai Presiden Mahasiswa KM ITK.

Tak terasa empat jam acar berlalu. Bang Ricky yang telah mendirikan pusat studi Lentera Bumi Nusantara & Lentera Angin Nusantara (LAN) di Ciheras, Jawa Barat mengajak kepada siapa saja yang ingin belajar untuk datang ke sana.

“Siapapun yang ingin belajar, silakan datang ke Ciheras. Kita belajar membuat kincir angin lalu menguji performanya sendiri. Dalam waktu dekat, LAN akan menerima mahasiswa ITK yang kerja praktik di sana” tutupnya.

Wira Setiawan │Ridho Jun Prasetyo untuk Humas ITK


ITK [Jadilah] Harapan Borneo
Oleh Ricky Elson

Hari ini Minggu,
Kampus baru itu di atas bukit dan jauh dari keramaian.
Namun mereka penuh antusias untuk datang, membawa harapan masing-masing dari pertemuan ini.
Meski sebenarnya mungkin lebih enak bermain bagi mereka.

Lalu, saya benar-benar lancang.
BerSusastera Engineering di hadapan mereka.

Banyak yang bertanya,
Apa yang bang Ricky cari di negeri ini,
Ketika pada kenyataannya
kita banyak berhadapan dengan hal-hal yang mengecewakan.

Mereka mungkin berharap saya akan
memberikan jawaban yang menenangkan dan memuaskan hati mereka.

Saya tak menjawabnya,
Lalu saya bercerita tentang sebuah puisi.
“Ame ni mo Makezu”
Karya Maestro Jepang, Miyazawa Kenji, yang dibahas lumayan detail pada Wikipedia.
Dan saya lanjutkan dengan membacakan “How I became a madman”nya Sang Maestro Kahlil Gibran.
Dan kemudian tentang “As a Man Thinketh”nya om James Allen dari Inggris,
Plus, sedikit tentang “The Meaning of it All”nya Sang Maestro Sastra Scientific, Richard Feynmann.

Dan saya lanjutkan dengan penutup.
“Silakan anda temukan jawaban anda sendiri
Kenapa anda harus terus berjuang?”

Tak terasa, empat jam sudah berlalu.
Saya berjanji akan mengunjungi mereka
berkala. Dan berikut giliran saya yang mendengarkan dongengan mereka.

“Homerare mo sezu”
(Tidak dipuji [siapapun])

Ku ni mo sarezu
(Juga tidak dibenci [siapapun])

Sō iu mono ni
Watashi wa naritai
(Saya ingin menjadi  [manusia] seperti itu”

Dan [menjadi seperti] itu tidaklah seMudah didendangkan

Adik-adik ITK,
Jadilah Harapan Borneo
Harapan Negeri ini
Terima kasih

On the way Ciheras, 20160529
Catatan Mendongeng

Tidak ada komentar:

Posting Komentar