Selasa, 26 Januari 2016

Riset untuk Warga, Tak Sekedar Masuk Jurnal Internasional





Balikpapan – Sulistijono tak bisa bisa dilepaskan dari sejarah Institut Teknologi Kalimantan (ITK) di Balikpapan. Profesor Metalurgi ini adalah inisiator sekaligus ketua Tim Pendirian ITK. Kini dia menjadi rektor perguruan tinggi yang berdiri 6 Oktober 2014 lalu. Berikut ceritanya.

Kesan pertama saat Kaltim Post bertemu Sulistijono adalah ramah dan murah senyum. Tak ketinggalan, dia juga selalu bersemangat. Khususnya saat berbagi cerita seputar dunia pendidikan. Tentang bidang metalurgi yang digeluti. Juga soal akan seperti apa ITK, “anak kemarin sore” di dunia perkampusan Benua Etam, di bawah kepemimpinannya.

Metalurgi jadi pembahasan awal pria yang saat itu mengenakan kemeja batik biru cerah. Perkenalannya dengan dunia ini ketika dia mengenyam pendidikan S-1, Jurusan Teknik Mesin, Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya.

Dari situ, dia semakin tenggelam dalam bidang ini. Tambah jauh, Sulis – sapaan akrabnya – semakin kagum. Metalurgi juga yang memberinya banyak inspirasi.

“Menurut saya menarik. Ternyata material seperti baja dan logam yang kita bayangkan adalah benda mati, dalam dunia metalurgi semua itu bisa berubah,” ujarnya saat bincang di ruang kerjanya, Kampus ITK, Karang Joang, Balikpapan.

Aneka material, kata dia, dapat dikreasikan. Sifatnya pun mudah berubah. Misalnya memodifikasi bahan material menjadi baju atau rompi anti peluru. Dari material juga bisa membuat mata palsu. Tentu dengan rumus dan perpaduan bahan yang tepat. Hal-hal seperti ini yang membuat Sulis jatuh cinta. Makanya, lepas S-1, tak pikir panjang, dia mengambil jenjang S-2 dan S-3 di bidang yang sama. Sulis berhasil meraih gelar S-2 pada 1989. Dia langsung lanjut ke jenjang S-3 dan lulus pada 1992. Dua jenjang pendidikan itu dituntaskannya di Université de Technologie de Compiègne (DEA), France.

Selama menggeluti bidang ini, salah satu pengalaman tak terlupakannya adalah ketika melakukan uji coba material dengan daya tahan temperatur tinggi. Ia harus mengetes materi hingga suhu di atas 1.200 derajat celcius. Jelas beresiko. Superpanas. “Saya harus menunggu dan mengawasi dengan seksama uji coba waktu itu. Tidak boleh tidur. Padahal untuk mengujinya butuh waktu hingga 150 jam atau empat hari. Bagaimana bisa saya tidak tidur selama itu, sangat melelahkan,” ungkapnya.

Akhirnya, ayah tiga anak itu membuat sebuah rekaman video dokumentasi melalui kamera agar risetnya dapat terus terlihat. Bahkan ketika ia sedang tertidur. Namun, meskipun sudah dibantu kamera, hal yang ditakutkan oleh Sulis terjadi juga.
“Bayangkan sebuah material dengan temperatur setinggi itu, sudah tidak terbayang bagaimana warna dan suhunya. Kemudian benda itu jatuh ke lantai, saya yang sedang tertidur langsung kaget dan terbangun,” ujarnya.

Setelah menyelesaikan studi di Perancis, Sulis memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Dia menjadi dosen jurusan Teknik Mesin di almamaternya, ITS. “Prinsip saya ketika menekuni satu bidang, saya harus total dan tidak boleh  setengah-setengah,” tuturnya. Mantan Dekan Fakultas Teknologi Industri ITS tersebut menuturkan, rasa nyamannya terhadap dunia pendidikan. Ini yang membuatnya yakin untuk memilih terjun dan berkarir sebagai dosen.

“Bagi saya, tidak ada yang lebih nyaman selain pendidikan. Saya merasa dunia pendidikan itu dapat memberi kebebasan untuk orang berkreasi dan berinovasi,” ungkap suami Lilik Muslimatin itu. Ketekunan dan kecintaan jugalah yang membuat karir di bidang ini terus menanjak. Pada 2011, ketika Presiden RI membuat perencanaan ITK, Sulis diminta untuk berperan menjadi inisiatornya. Tak berhenti sampai situ. Pria kelahiran Madiun itu juga resmi ditunjuk sebagai Rektor ITK sejak 2014.

Meskipun tidak pernah terbayangkan dapat mengemban tugas sebagai rektor, Sulis berusaha agar dapat menjalankan perannya semaksimal mungkin. “Karena semua itu amanah. Menurut saya, ini salah satu peluang untuk berkontribusi bagi negara di bidang pendidikan,” sebutnya.

Saat ini, Sulis mencoba membuat terobosan dan inovasi dalam mengembangkan ITK. Contohnya dari proses seleksi dosen yang ketat. Dosen harus berkualitas dan tidak sembarangan. “Tidak mungkin kami memilih dosen dari perguruan tinggi yang tidak jelas asal-usulnya. Dosen yang kami terima semua berasal dari kampus-kampus terbaik,” ungkapnya.

Pada awal-awal berdiri, ITK ada lima program studi, yakni Teknik Mesin, Teknik Elektro, Teknik Kimia, Teknik Sipil, dan Teknik Perkapalan yang dibuka pada 2012. Setahun kemudian, atau 2013, dibuka lima program studi lainnya, yaitu program Teknik Material dan Metalurgi, Fisika, Matematika, Sistem Informasi, serta Perencanaan Wilayah.

Kini, ITK sudah memiliki 134 dosen. Mahasiswanya sekitar 700 orang. Animo masyarakat terhadap keberadaan ITK sangat tinggi. “Terbukti sejak lahirnya perguruan tinggi ini, setiap orang harus bersaing dengan tujuh orang lainnya agar dapat diterima sebagai mahasiswa,” ujarnya. Yang tak ketinggalan, kata dia, ITK juga terus berinovasi.

Salah satunya dalam pemilihan tema riset. Riset yang digeluti harus berguna bagi masyarakat sekitar terlebih dulu. Menurutnya, saat ini masih banyak riset yang hanya berujung pada jurnal internasional. Namun tidak memberikan manfaat kepada negara secara langsung. Sehingga hal itu seharusnya menjadi perhatian semua rektor di Indonesia. “Jika ada dana riset, 60-70 persen harus meneliti yang bermanfaat bagi warga sekitar dan negara. Sisanya adalah penelitian yang menjadi jurnal internasional. ITK sedang diarahkan seperti itu,” tuturnya.

Misalnya ketika masyarakat yang berada di lingkungan ITK kesulitan mendapatkan air. ITK mencoba memberikan bantuan dengan melakukan pengeboran sumur. Sehingga air sumur tersebut dapat dialirkan ke rumah-rumah warga yang membutuhkan.

“Beberapa rumah di kawasan Karang Joang (sekitar kampus) mendapat bantuan air itu. Jadi sebisa mungkin banyak dana dilarikan untuk kepentingan masyarakat juga. Tidak egois hanya membesarkan perguruan tinggi sendiri,” jelasnya.

Harapannya, keberadaan ITK dapat memberikan manfaat dan warga dapat menikmatinya. Sulis menuturkan, banyak pemikiran atau ide yang justru datang dari lingkungan sekitar. Pria 53 tahun ini merasa terdorong untuk menciptakan berbagai inovasi untuk lingkungannya.

“Sosok inspirasi bagi saya pun bukan seorang tokoh besar. Namun, orang-orang di sekitar lingkungan saya yang dapat menjadi panutan. Misalnya dosen-dosen saya saat dulu masih kuliah,” ceritanya.

Tidak ada target besar dalam hidupnya, namun Sulis mengatakan selalu menciptakan target-target kecil yang harus berjalan terus-menerus. “Prinsip hidup saya adalah dapat menjadi seorang yang baik dan bermanfaat bagi orang lain. Jalankan setiap amanah dengan sungguh-sungguh dan sesuai porsinya,” jelasnya.

Dalam menjalankan perannya saat ini, dukungan keluarga dan lingkungan menjadi bagian penting. “Keluarga saat ini berdomisili di Surabaya, namun jika ada waktu luang, mereka menyempatkan diri berkunjung ke Balikpapan,” sebutnya. Sulistijono dikaruniai tiga anak. Anak sulungnya bernama Primaditya sedang menempuh pendidikan master Teknik Elektro di INSA Lyon, Perancis. Anak kedua, Elvin Nuzulistina, mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya. Sedangkan si bungsu, Andhika, masih duduk di bangku SMP 1 Surabaya. (far/k15).
Sumber: Kaltim Post e-paper edisi Selasa, 26 Januari 2016, hal. 1 (represented by Humas ITK).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar